Kamis, 12 Januari 2017

Sekedar Berbagi Pengalaman



BERMULA DARI SEBUAH HOBI

Awalnya, menghafal tak pernah terbesit dalam benak saya. Karena walaupun keluarga saya agamis, tidak ada seorang pun dalam keluarga yang pernah menghafal al-Qur’an.  Namun kemampuan membaca al-Qur’an tak perlu diragukan, karena orang tua adalah guru ngaji di kampung.
Segalanya dimulai dari hoby melagukan Al-Qur’an. Saat duduk di kelas satu Tsanawiyah TMI Putri Al-Amien Prenduan Madura, saya bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler yang bernama Jam’iyyatul Qurro’. Dalam kegiatan ekstra yang disingkat JQ tersebut fokus pada pengembangan tilawah al-Qur’an saja. Namun, saat duduk di kelas 2 Tsanawiyah JQ berubah nama menjadi JQH (Jam’iyyatul Qurro’ Wal Huffadz) dan mewajibkan seluruh anggota yang tergabung untuk menghafal Al-Qur’an, tidak hanya terfokus pada tilawah saja. Saat itu, saya memutuskan untuk keluar dari JQH karena merasa tidak mampu untuk menghafal.
Menginjak pertengahan kelas 3 Tsanawiyah, saya memutuskan bergabung kembali dengan JQH dan siap untuk menghafal Al-Qur’an. Jujur, niat saya saat itu menghafal hanya agar diwisuda hafidz Qur’an bersama teman-teman lainnya, yang dilaksanakan setiap akhir bulan sya’ban sebelum liburan akhir tahun. Dan hasilnya, pada akhir bulan sya’ban tahun 2009 saya berhasil  duduk bersama wisudawati hafidz qur’an kategori juz 30. Dan pada akhir sya’ban 2011 dapat mengikuti wisuda hafidz qur’an kategori 5 juz.
Menginjak tahun keenam di TMI Al-Amien Prenduan, saya disibukkan dengan kepengurusan ISTAMA (Ikatan Santriwati Tarbiyatul Mu’allimat) organisasi intra disana. Memangku jabatan sebagai Mahkamah Syar’iyyah (biasa disebut dengan Qismul Amni di beberapa pesantren semisal Gontor dll). Disibukkan dalam aktifitas kepengurusan yang lumayan padat, membuat hafalan tak menjadi prioritas. Hingga saat-saat terakhir di TMI Al-Amien disibukkan dengan kegiatan niha’ie (Praktik kemasyarakatan dan keilmuan di pesantren model Gontor dll), membuat saya seakan lupa bahwa hafalan itu perlu dimuraja’ah agar tidak hilang dari ingatan. Seingat saya, hafalan yang masih melekat hanya surah An-naba’ dari 6 juz yang sudah dihafal.
Namun, syukur alhamdulillah.. Allah tak pernah meninggalkan saya. Pada masa pengabdian wajib saya ditempatkan di PPSQ. Asy-Syadzili III Tumpang, Malang, Jawa Timur oleh Biro Alumni Al-Amien untuk program Takhassus Al-Qur’an. Walau hanya bertahan selama tiga bulan di Malang, namun saya berhasil menyetorkan 16 juz dengan pengulangan dari juz 30, 1 sampai juz 15. Di Pondok inilah saya benar-benar bertekad untuk menjadi seorang penghafal Qur’an, bukan menghafal hanya sekedar untuk mencari kenikmatan dunia. Namun ketika tekad itu benar-benar tertancap kuat dalam diri, saat itulah Allah menguji kesungguhan saya. Saya mulai tidak betah berada di Malang, bukan karena sistem menghafal atau beban hafalan. Tapi hal-hal di luar itu yang menyebabkan saya memutuskan untuk boyong dan kembali ke kampung halaman menuntaskan sisa pengabdian wajib dengan mengajar di lembaga orang tua.
Setelah menyelesaikan tugas pengabdian wajib dari TMI Al-Amien, saya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kuliah di sebuah kota besar membawa hafalan 16 juz merupakan hal yang benar-benar sulit pada masa-masa awal kuliah saya di Jakarta. Pergaulan dan lingkungan yang kurang kondusif, serta kegiatan dan tugas-tugas awal perkuliahan yang menumpuk, membuat saya mencari cara untuk memuraja’ah hafalan di lembaga-lembaga tahfidz sekitar kampus. Pilihan saya akhirnya jatuh pada Bimbingan Tahfidz di Fakultas yang ditangani oleh dosen-dosen Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Jakarta.
Awalnya, bergabung dengan kelompok bimbingan tahfidz di fakultas hanyalah untuk memuraja’ah hafalan agar tidak hilang. Namun, dosen pembimbing tahfidz saya menyarankan untuk melanjutkan hafalan hingga akhir. “Kalau Guru kamu di Pesantren dulu mampu membuat kamu hafal Qur’an 16 juz, saya juga mampu membuat kamu hafal Al-Qur’an seluruhnya” ujar beliau saat pertama kali saya menyetorkan hafalan. Beliau juga yakin, disela-sela kesibukan organisasi dan kuliah, saya mampu untuk mengkhatamkan hafalan sebelum wisuda sarjana. Berbekal motivasi dan keyakinan yang ditanamkan oleh dosen pembimbing tahfidz tersebut, akhirnya saya meneruskan hafalan dan bergabung dengan Lembaga Tahfidz dan Ta’lim Al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah pada tahun kedua perkuliahan di UIN Jakarta. Di Lembaga yang terletak di depan Kampus UIN Jakarta inilah saya mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an pada Jum’at, 15 Januari 2016 bertepatan dengan Tahun Ketiga Perkuliahan saya di UIN Jakarta.
Demikianlah sekelumit perjalanan panjang saya dalam menghafal Al-Qur’an. Dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu tujuh tahun. Saya telah berhasil memenuhi keinginan dosen pembimbing tahfidz saya untuk mengkhatamkan hafalan sebelum wisuda sarjana. Yah, dan saya merasa sangat bersyukur Allah selalu berikan kejutan indah dalam hidup saya.
Saat ini saya aktif di berbagai Lembaga Tahfidz dan organisasi baik internal maupun eksternal kampus, diantaranya LTTQ Masjid Fathullah, Ma’had Tahfidz Dzinnurain yang dibentuk oleh Asian Moslem Charity Foundation (AMCF), Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul ‘Ulama (IPPNU) Cabang Tangerang Selatan. Selain aktif di berbagai lembaga, saya juga mengajar Tahsin di LTQ Kharisma Risalah Cipulir, kebayoran lama (September-Desember 2015), menjadi musyrifah di berbagai kegiatan mukhayyam Qur’an kampus, dan mengajar privat tahsin-tahfidz hingga saat ini.
Dari kisah pengalaman menghafal ini, saya ingin menekankan bahwa menghafal itu mudah. Jika ada niat serta tekad yang kuat, sebesar apapun rintangan dan halangan yang datang, tak akan membuat goyah. Menghafal dengan metode apapun tidaklah penting. Hal yang paling penting adalah ada niat, motivasi, muhafidz/muhafidzah, dan lingkungan yang kondusif/mendukung. Kenapa saya meletakkan niat adalah hal pertama yang harus ada? Karena menghafal tanpa niat yang benar akan terhenti di tengah jalan.  Kemudian hal kedua yang harus ada adalah motivasi. Kenapa motivasi? Karena tidak selamanya proses menghafal menyenangkan, ada kalanya posisi kita berada pada titik jenuh dan sulit untuk menghafal. Disinilah peran motivasi menjadi sangat penting. Selanjutnya adalah adanya muhafidz/muhafidzah. Menghafal tanpa menyetorkan pada orang lain akan membuat hafalan buruk. Kenapa? Karena kita tidak mengetahui kesalahan dan kekurangan hafalan yang dihafalkan, serta tidak ada yang membenarkan jika terjadi salah dan lupa. Kemudian lingkungan yang kondusif menjadi sangat penting. Karena menghafal perlu suasana yang mendukung konsentrasi. Maka, saya menyarankan agar siapapun yang menghafal hendaklah bergabung dengan lembaga tahfidz, pesantren tahfidz atau menyetorkan pada muhafidz/muhafidzah, agar hafalan al-Qur’an yang dihafalkan sempurna.
Terakhir, hidup bukanlah tentang bagaimana menyesali hal-hal buruk yang pernah dilakukan. Tetapi hidup adalah tentang bagaimana mengambil pelajaran dari berbagai kesalahan di masa lampau, dan menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Sesungguhnya merugilah seseorang yang hari ini sama dengan hari kemarin.

                                                                        Ciputat, 27 Desember 2016




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda