SKETSA SEBUAH MADRASAH
SKETSA SEBUAH MADRASAH
15.00 WIB….
Aku melirik Arloji di tangan kiriku. 15.00 WIB tepat. Tergopoh-gopoh
ku ambil jilbab di belakang pintu. Aku kenakan serapi mungkin. Dengan langkah
cepat aku bergegas pergi untuk mengajar kelas dua Diniyah sore ini.
●●●
Riuh suara murid-murid MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) menyambutku
di halaman gedung madrasah. Ada yang berlarian, bermain lompat tali, membeli
ice cream dari penjual es keliling, ada juga yang hanya duduk bergosip ria
meramaikan suasana sebelum masuk kelas.
“Eh, mbak wiwik datang!” ucap seorang anak yang sedang bermain
lompat tali saat melihat kedatanganku, dan segera menghentikan mainnya.
“Wouyy…. Kelas dua masuk, mbak wiwik dating!” ujar seorang anak
yang lain menyuruh mereka teman-temannya masuk kedalam kelas. Mereka pun
bergegas dan saling berebut untuk masuk.
Aku masuk ke ruang kelas dua diniyah dengan senyum terkembang. Anak
didikku yang hanya berjumlah duabelas orang ini duduk rapi berjejer di atas
tikar lengkap dengan alat-alat sekolah mereka.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Kuucapkan salam
sebagai tanda dimulainya pelajaran sore ini.
“wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab mereka
bersama-sama.
“Berdo’a dimulai!”
●●●
Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Ulum…..
Madrasah Diniyah untuk pemula ini adalah sekolah agama setingkat
Sekolah Dasar (SD). Pada awalnya adalah
sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang berdiri kurang lebih 11 tahun yang
lalu atas inisiatif seorang Da’i transmigran dari pulau Jawa.
Dahulu, aku adalah salah seorang murid di TPA itu. Kegiatan
pendidikan di taman pendidikan Al-Qur’an dilakukan di sebuah musholla kampung
yang bernama At-Taqwa, sehingga taman pendidikan Al-Qur’an itu dikenal dengan
nama TPA At-Taqwa. Musholla At-Taqwa terletak di simpang empat jalan pusat desa
yang selalu ramai dengan lalu lalang kendaraan. Kendaraan roda dua maupun roda
empat.
Letak TPA yang bersebelahan dengan jalan pusat desa kurang kondusif
untuk dilaksanakan kegiatan belajar mengajar. Suara bising kendaraan kerap mengganggu
proses pembelajaran. Namun, semua itu tidak memadamkan semangat anak-anak untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama.
Pengurus TPA At-Taqwa sudah berkonsultasi dengan aparat desa untuk
meminta bantuan sebuah gedung, demi kelancaran proses belajar mengajar di TPA
dalam membekali generasi muda dengan pemahaman-pemahaman agama serta untuk
mencerdaskan anak bangsa. Tahun demi tahun berlalu tanpa ada kabar kepastian
akan dibangunnya sebuah gedung TPA.
Kini sebelas tahun telah berlalu. TPA At-Taqwa telah berganti nama
menjadi sebuah Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Ulum dengan harapan
kelak akan menjadi kunci dari segala ilmu pengetahuan.
●●●
“Radiitu billaahi robba wabil islaami diina, wabimuhammadin
nabiyyan warasuula, rabbi zidnii ‘ilma warzuqni fahma, rabbi isyrohlii shadrii
wayassirlii amrii wahlul ‘uqdatan min lisaani yafqahuu qaulii Amiin…. Rabbi
faj’al mujtama’naa, ghaayatul husnul khitaami, wa a’thinaa maa qad saalnaa, min
‘athaayaakal jisaami shadaqallaahul ‘adhiim.”
Suara anak-anak berdo’a menggema dalam sebuah ruang yang disekat
menjadi dua kelas ini. Kelas I dan kelas II diniyah.
Ruang kelas ini merupakan bantuan dari pemerintah daerah (PEMDA).
Dibangun ala kadarnya dengan ukuran 7x8 m. Setelah proses yang sangat lama
dalam kurun waktu 11 tahun. Dan telah mengsilkan puluhan alumni.
Jenjang pendidikan di MDA Miftahul Ulum berlangsung selama enam
tahun. Setingkat dengan sekolah dasar (SD). Anak-anak dibagi menjadi enam kelas
sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan bantuan sebuah ruang kelas dari PEMDA
ini dapat ditempati dua kelas. Kelas 1 dan II diniyah. Kelas III-VI masih
ditempatkan di musholla At-Taqwa.
●●●
Sembilan puluh menit telah berlalu. Setelah mengabsen kehadiran
anak-anak satu persatu. Aku bersiap-siap menutup pelajaran.
“Baiklah anak-anak, kita akhiri pelajaran sore hari ini dengan
membaca do’a bersama-sama.”
“Rabbana infa’naa bimaa ‘allamtanaa, rabbi ‘allimnaa alladzii
yanfa’una, rabbi faqqihnaa wafaqqih ahlanaa, waqaraabatin lanaa fii diinina”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Anak-anak berebut
menyalamiku setelah bersama-sama menjawab salam.
●●●
Aku terdiam memandang gedung yang baru berumur lima bulan ini.
Gedung berbentuk segi empat. Beratap seng. Memiliki luas 7x8 m, dengan dinding
yang tidak dilapisi cat. Disamping kanan gedung terdapat dua buah pondasi yang
diniatkan untuk pembangunan gedung madrasah selanjutnya. Sumbangan dan infak
dari wali murid yang terketuk hatinya.
Sebulan yang lalu. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tepat 12
Rabi’ul Awwal diadakan di depan gedung madrasah yang baru dibangun ini.
Mendatangkan seorang kiyai besar dari pulau Madura. KH. Muhammad Mudatstsir
Badruddin. Saat peringatan Maulid nabi itu, Wali Nagari kampung ini berhalangan
hadir karena suatu alasan.
Dua hari setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tepat di
belakang gedung baru madrasah itu seorang warga mengadakan pesta perayaan hari
pernikahan putrinya, yang tak lain adalah teman dekatku.
Pesta pernikahan temanku diadakan dengan sangat meriah. Mengundang
biduan-biduan local yang berpakaian sangat minim bahan. Suara sound system
terdengar sampai kampung sebelah. Sejak pagi hari para tamu undangan disuguhi
lagu-lagu oleh biduan-biduan local. Lagu dangdut, pop, jazz, hingga koplo tidak
luput didendangkan.
Puncaknya pada malam hari. Ketika para tamu undangan yang
berdatangan mulai sepi. Tiba-tiba para pemuda yang bertugas di pesta itu mulai
menenggak minuman-minuman keras berupa bir, wiski dsb yang aku tidak tahu
macamnya. Aku pun terheran-heran. Wali nagari yang berhalangan hadir pada
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dua hari yang lalu. Saat ini duduk dengan
seorang anggota DPRD. Menenggak minuman
haram itu. Menonton para biduan berjoget. Miris aku memandangnya.
Aku tidak tahu darimana kardus-kardus berisi minuman haram itu
berasal, dan siapa yang menyediakannya. Yang aku tahu air mataku menetes
tatkala melihat botol-botol minuman keras itu tercecer berserakan tepat di
belakang gedung madrasah. Ironis memang. Dimana belum hilang bekas seorang
ulama’ besar yang jauh-jauh datang dari pulau Madura. Memberikan tausiyah dan
nasihatnya untuk mengikuti akhlak dan teladan Rasulullah SAW dan menghimbau
untuk meninggalkan tradisi-tradisi masyarakat jahiliyah.
Mengingat itu, tidak terasa air mataku kembali menetes. Hanya bisa
berdo’a semoga Allah SWT memberikan petunjuk pada mereka ke jalan yang benar.
●●●
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda