Senin, 02 Juni 2014

SKETSA SEBUAH MADRASAH



SKETSA SEBUAH MADRASAH
15.00 WIB….
Aku melirik Arloji di tangan kiriku. 15.00 WIB tepat. Tergopoh-gopoh ku ambil jilbab di belakang pintu. Aku kenakan serapi mungkin. Dengan langkah cepat aku bergegas pergi untuk mengajar kelas dua Diniyah sore ini.
●●●
Riuh suara murid-murid MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) menyambutku di halaman gedung madrasah. Ada yang berlarian, bermain lompat tali, membeli ice cream dari penjual es keliling, ada juga yang hanya duduk bergosip ria meramaikan suasana sebelum masuk kelas.
“Eh, mbak wiwik datang!” ucap seorang anak yang sedang bermain lompat tali saat melihat kedatanganku, dan segera menghentikan mainnya.
“Wouyy…. Kelas dua masuk, mbak wiwik dating!” ujar seorang anak yang lain menyuruh mereka teman-temannya masuk kedalam kelas. Mereka pun bergegas dan saling berebut untuk masuk.
Aku masuk ke ruang kelas dua diniyah dengan senyum terkembang. Anak didikku yang hanya berjumlah duabelas orang ini duduk rapi berjejer di atas tikar lengkap dengan alat-alat sekolah mereka.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Kuucapkan salam sebagai tanda dimulainya pelajaran sore ini.
“wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab mereka bersama-sama.
“Berdo’a dimulai!”
●●●
Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Ulum…..
Madrasah Diniyah untuk pemula ini adalah sekolah agama setingkat Sekolah Dasar (SD). Pada  awalnya adalah sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang berdiri kurang lebih 11 tahun yang lalu atas inisiatif seorang Da’i transmigran dari pulau Jawa.
Dahulu, aku adalah salah seorang murid di TPA itu. Kegiatan pendidikan di taman pendidikan Al-Qur’an dilakukan di sebuah musholla kampung yang bernama At-Taqwa, sehingga taman pendidikan Al-Qur’an itu dikenal dengan nama TPA At-Taqwa. Musholla At-Taqwa terletak di simpang empat jalan pusat desa yang selalu ramai dengan lalu lalang kendaraan. Kendaraan roda dua maupun roda empat.
Letak TPA yang bersebelahan dengan jalan pusat desa kurang kondusif untuk dilaksanakan kegiatan belajar mengajar. Suara bising kendaraan kerap mengganggu proses pembelajaran. Namun, semua itu tidak memadamkan semangat anak-anak untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.
Pengurus TPA At-Taqwa sudah berkonsultasi dengan aparat desa untuk meminta bantuan sebuah gedung, demi kelancaran proses belajar mengajar di TPA dalam membekali generasi muda dengan pemahaman-pemahaman agama serta untuk mencerdaskan anak bangsa. Tahun demi tahun berlalu tanpa ada kabar kepastian akan dibangunnya sebuah gedung TPA.
Kini sebelas tahun telah berlalu. TPA At-Taqwa telah berganti nama menjadi sebuah Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Miftahul Ulum dengan harapan kelak akan menjadi kunci dari segala ilmu pengetahuan.
●●●
“Radiitu billaahi robba wabil islaami diina, wabimuhammadin nabiyyan warasuula, rabbi zidnii ‘ilma warzuqni fahma, rabbi isyrohlii shadrii wayassirlii amrii wahlul ‘uqdatan min lisaani yafqahuu qaulii Amiin…. Rabbi faj’al mujtama’naa, ghaayatul husnul khitaami, wa a’thinaa maa qad saalnaa, min ‘athaayaakal jisaami shadaqallaahul ‘adhiim.”
Suara anak-anak berdo’a menggema dalam sebuah ruang yang disekat menjadi dua kelas ini. Kelas I dan kelas II diniyah.
Ruang kelas ini merupakan bantuan dari pemerintah daerah (PEMDA). Dibangun ala kadarnya dengan ukuran 7x8 m. Setelah proses yang sangat lama dalam kurun waktu 11 tahun. Dan telah mengsilkan puluhan alumni.
Jenjang pendidikan di MDA Miftahul Ulum berlangsung selama enam tahun. Setingkat dengan sekolah dasar (SD). Anak-anak dibagi menjadi enam kelas sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan bantuan sebuah ruang kelas dari PEMDA ini dapat ditempati dua kelas. Kelas 1 dan II diniyah. Kelas III-VI masih ditempatkan di musholla At-Taqwa.
●●●
Sembilan puluh menit telah berlalu. Setelah mengabsen kehadiran anak-anak satu persatu. Aku bersiap-siap menutup pelajaran.
“Baiklah anak-anak, kita akhiri pelajaran sore hari ini dengan membaca do’a bersama-sama.”
“Rabbana infa’naa bimaa ‘allamtanaa, rabbi ‘allimnaa alladzii yanfa’una, rabbi faqqihnaa wafaqqih ahlanaa, waqaraabatin lanaa fii diinina”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Anak-anak berebut menyalamiku setelah bersama-sama menjawab salam.
●●●
Aku terdiam memandang gedung yang baru berumur lima bulan ini. Gedung berbentuk segi empat. Beratap seng. Memiliki luas 7x8 m, dengan dinding yang tidak dilapisi cat. Disamping kanan gedung terdapat dua buah pondasi yang diniatkan untuk pembangunan gedung madrasah selanjutnya. Sumbangan dan infak dari wali murid yang terketuk hatinya.
Sebulan yang lalu. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tepat 12 Rabi’ul Awwal diadakan di depan gedung madrasah yang baru dibangun ini. Mendatangkan seorang kiyai besar dari pulau Madura. KH. Muhammad Mudatstsir Badruddin. Saat peringatan Maulid nabi itu, Wali Nagari kampung ini berhalangan hadir karena suatu alasan.
Dua hari setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tepat di belakang gedung baru madrasah itu seorang warga mengadakan pesta perayaan hari pernikahan putrinya, yang tak lain adalah teman dekatku.
Pesta pernikahan temanku diadakan dengan sangat meriah. Mengundang biduan-biduan local yang berpakaian sangat minim bahan. Suara sound system terdengar sampai kampung sebelah. Sejak pagi hari para tamu undangan disuguhi lagu-lagu oleh biduan-biduan local. Lagu dangdut, pop, jazz, hingga koplo tidak luput didendangkan.
Puncaknya pada malam hari. Ketika para tamu undangan yang berdatangan mulai sepi. Tiba-tiba para pemuda yang bertugas di pesta itu mulai menenggak minuman-minuman keras berupa bir, wiski dsb yang aku tidak tahu macamnya. Aku pun terheran-heran. Wali nagari yang berhalangan hadir pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dua hari yang lalu. Saat ini duduk dengan seorang anggota DPRD. Menenggak  minuman haram itu. Menonton para biduan berjoget. Miris aku memandangnya.
Aku tidak tahu darimana kardus-kardus berisi minuman haram itu berasal, dan siapa yang menyediakannya. Yang aku tahu air mataku menetes tatkala melihat botol-botol minuman keras itu tercecer berserakan tepat di belakang gedung madrasah. Ironis memang. Dimana belum hilang bekas seorang ulama’ besar yang jauh-jauh datang dari pulau Madura. Memberikan tausiyah dan nasihatnya untuk mengikuti akhlak dan teladan Rasulullah SAW dan menghimbau untuk meninggalkan tradisi-tradisi masyarakat jahiliyah.
Mengingat itu, tidak terasa air mataku kembali menetes. Hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT memberikan petunjuk pada mereka ke jalan yang benar.
●●●

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda