Sekedar Berbagi Pengalaman
BERMULA
DARI SEBUAH HOBI
Awalnya, menghafal tak pernah terbesit dalam benak saya. Karena
walaupun keluarga saya agamis, tidak ada seorang pun dalam keluarga yang pernah
menghafal al-Qur’an. Namun kemampuan
membaca al-Qur’an tak perlu diragukan, karena orang tua adalah guru ngaji di
kampung.
Segalanya dimulai dari hoby melagukan Al-Qur’an. Saat duduk di
kelas satu Tsanawiyah TMI Putri Al-Amien Prenduan Madura, saya bergabung dengan
kegiatan ekstrakurikuler yang bernama Jam’iyyatul Qurro’. Dalam kegiatan
ekstra yang disingkat JQ tersebut fokus pada pengembangan tilawah al-Qur’an
saja. Namun, saat duduk di kelas 2 Tsanawiyah JQ berubah nama menjadi JQH (Jam’iyyatul
Qurro’ Wal Huffadz) dan mewajibkan seluruh anggota yang tergabung untuk
menghafal Al-Qur’an, tidak hanya terfokus pada tilawah saja. Saat itu, saya
memutuskan untuk keluar dari JQH karena merasa tidak mampu untuk menghafal.
Menginjak pertengahan kelas 3 Tsanawiyah, saya memutuskan bergabung
kembali dengan JQH dan siap untuk menghafal Al-Qur’an. Jujur, niat saya saat
itu menghafal hanya agar diwisuda hafidz Qur’an bersama teman-teman lainnya,
yang dilaksanakan setiap akhir bulan sya’ban sebelum liburan akhir tahun. Dan
hasilnya, pada akhir bulan sya’ban tahun 2009 saya berhasil duduk bersama wisudawati hafidz qur’an
kategori juz 30. Dan pada akhir sya’ban 2011 dapat mengikuti wisuda hafidz
qur’an kategori 5 juz.
Menginjak tahun keenam di TMI Al-Amien Prenduan, saya disibukkan
dengan kepengurusan ISTAMA (Ikatan Santriwati Tarbiyatul Mu’allimat) organisasi
intra disana. Memangku jabatan sebagai Mahkamah Syar’iyyah (biasa
disebut dengan Qismul Amni di beberapa pesantren semisal Gontor dll).
Disibukkan dalam aktifitas kepengurusan yang lumayan padat, membuat hafalan tak
menjadi prioritas. Hingga saat-saat terakhir di TMI Al-Amien disibukkan dengan
kegiatan niha’ie (Praktik kemasyarakatan dan keilmuan di pesantren model Gontor
dll), membuat saya seakan lupa bahwa hafalan itu perlu dimuraja’ah agar tidak
hilang dari ingatan. Seingat saya, hafalan yang masih melekat hanya surah
An-naba’ dari 6 juz yang sudah dihafal.
Namun, syukur alhamdulillah.. Allah tak pernah meninggalkan saya.
Pada masa pengabdian wajib saya ditempatkan di PPSQ. Asy-Syadzili III Tumpang,
Malang, Jawa Timur oleh Biro Alumni Al-Amien untuk program Takhassus Al-Qur’an.
Walau hanya bertahan selama tiga bulan di Malang, namun saya berhasil
menyetorkan 16 juz dengan pengulangan dari juz 30, 1 sampai juz 15. Di Pondok
inilah saya benar-benar bertekad untuk menjadi seorang penghafal Qur’an, bukan
menghafal hanya sekedar untuk mencari kenikmatan dunia. Namun ketika tekad itu
benar-benar tertancap kuat dalam diri, saat itulah Allah menguji kesungguhan
saya. Saya mulai tidak betah berada di Malang, bukan karena sistem menghafal
atau beban hafalan. Tapi hal-hal di luar itu yang menyebabkan saya memutuskan
untuk boyong dan kembali ke kampung halaman menuntaskan sisa pengabdian wajib
dengan mengajar di lembaga orang tua.
Setelah menyelesaikan tugas pengabdian wajib dari TMI Al-Amien,
saya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kuliah di sebuah kota besar membawa hafalan
16 juz merupakan hal yang benar-benar sulit pada masa-masa awal kuliah saya di
Jakarta. Pergaulan dan lingkungan yang kurang kondusif, serta kegiatan dan
tugas-tugas awal perkuliahan yang menumpuk, membuat saya mencari cara untuk
memuraja’ah hafalan di lembaga-lembaga tahfidz sekitar kampus. Pilihan saya
akhirnya jatuh pada Bimbingan Tahfidz di Fakultas yang ditangani oleh dosen-dosen
Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Jakarta.
Awalnya, bergabung dengan kelompok bimbingan tahfidz di fakultas
hanyalah untuk memuraja’ah hafalan agar tidak hilang. Namun, dosen pembimbing
tahfidz saya menyarankan untuk melanjutkan hafalan hingga akhir. “Kalau Guru
kamu di Pesantren dulu mampu membuat kamu hafal Qur’an 16 juz, saya juga mampu
membuat kamu hafal Al-Qur’an seluruhnya” ujar beliau saat pertama kali saya
menyetorkan hafalan. Beliau juga yakin, disela-sela kesibukan organisasi dan
kuliah, saya mampu untuk mengkhatamkan hafalan sebelum wisuda sarjana. Berbekal
motivasi dan keyakinan yang ditanamkan oleh dosen pembimbing tahfidz tersebut,
akhirnya saya meneruskan hafalan dan bergabung dengan Lembaga Tahfidz dan
Ta’lim Al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah pada tahun kedua perkuliahan di UIN
Jakarta. Di Lembaga yang terletak di depan Kampus UIN Jakarta inilah saya
mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an pada Jum’at, 15 Januari 2016 bertepatan dengan
Tahun Ketiga Perkuliahan saya di UIN Jakarta.
Demikianlah sekelumit perjalanan panjang saya dalam menghafal
Al-Qur’an. Dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu tujuh tahun. Saya telah
berhasil memenuhi keinginan dosen pembimbing tahfidz saya untuk mengkhatamkan
hafalan sebelum wisuda sarjana. Yah, dan saya merasa sangat bersyukur Allah
selalu berikan kejutan indah dalam hidup saya.
Saat ini saya aktif di berbagai Lembaga Tahfidz dan organisasi baik
internal maupun eksternal kampus, diantaranya LTTQ Masjid Fathullah, Ma’had
Tahfidz Dzinnurain yang dibentuk oleh Asian Moslem Charity Foundation
(AMCF), Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul ‘Ulama (IPPNU) Cabang Tangerang Selatan.
Selain aktif di berbagai lembaga, saya juga mengajar Tahsin di LTQ Kharisma
Risalah Cipulir, kebayoran lama (September-Desember 2015), menjadi musyrifah di
berbagai kegiatan mukhayyam Qur’an kampus, dan mengajar privat tahsin-tahfidz
hingga saat ini.
Dari kisah pengalaman menghafal ini, saya ingin menekankan bahwa
menghafal itu mudah. Jika ada niat serta tekad yang kuat, sebesar apapun
rintangan dan halangan yang datang, tak akan membuat goyah. Menghafal dengan
metode apapun tidaklah penting. Hal yang paling penting adalah ada niat,
motivasi, muhafidz/muhafidzah, dan lingkungan yang kondusif/mendukung. Kenapa
saya meletakkan niat adalah hal pertama yang harus ada? Karena menghafal tanpa
niat yang benar akan terhenti di tengah jalan.
Kemudian hal kedua yang harus ada adalah motivasi. Kenapa motivasi?
Karena tidak selamanya proses menghafal menyenangkan, ada kalanya posisi kita
berada pada titik jenuh dan sulit untuk menghafal. Disinilah peran motivasi
menjadi sangat penting. Selanjutnya adalah adanya muhafidz/muhafidzah.
Menghafal tanpa menyetorkan pada orang lain akan membuat hafalan buruk. Kenapa?
Karena kita tidak mengetahui kesalahan dan kekurangan hafalan yang dihafalkan,
serta tidak ada yang membenarkan jika terjadi salah dan lupa. Kemudian
lingkungan yang kondusif menjadi sangat penting. Karena menghafal perlu suasana
yang mendukung konsentrasi. Maka, saya menyarankan agar siapapun yang menghafal
hendaklah bergabung dengan lembaga tahfidz, pesantren tahfidz atau menyetorkan
pada muhafidz/muhafidzah, agar hafalan al-Qur’an yang dihafalkan sempurna.
Terakhir, hidup bukanlah tentang bagaimana menyesali hal-hal buruk
yang pernah dilakukan. Tetapi hidup adalah tentang bagaimana mengambil
pelajaran dari berbagai kesalahan di masa lampau, dan menjadi pribadi yang
lebih baik di masa depan. Sesungguhnya merugilah seseorang yang hari ini sama
dengan hari kemarin.
Ciputat,
27 Desember 2016