Kamis, 12 Januari 2017

Sekedar Berbagi Pengalaman



BERMULA DARI SEBUAH HOBI

Awalnya, menghafal tak pernah terbesit dalam benak saya. Karena walaupun keluarga saya agamis, tidak ada seorang pun dalam keluarga yang pernah menghafal al-Qur’an.  Namun kemampuan membaca al-Qur’an tak perlu diragukan, karena orang tua adalah guru ngaji di kampung.
Segalanya dimulai dari hoby melagukan Al-Qur’an. Saat duduk di kelas satu Tsanawiyah TMI Putri Al-Amien Prenduan Madura, saya bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler yang bernama Jam’iyyatul Qurro’. Dalam kegiatan ekstra yang disingkat JQ tersebut fokus pada pengembangan tilawah al-Qur’an saja. Namun, saat duduk di kelas 2 Tsanawiyah JQ berubah nama menjadi JQH (Jam’iyyatul Qurro’ Wal Huffadz) dan mewajibkan seluruh anggota yang tergabung untuk menghafal Al-Qur’an, tidak hanya terfokus pada tilawah saja. Saat itu, saya memutuskan untuk keluar dari JQH karena merasa tidak mampu untuk menghafal.
Menginjak pertengahan kelas 3 Tsanawiyah, saya memutuskan bergabung kembali dengan JQH dan siap untuk menghafal Al-Qur’an. Jujur, niat saya saat itu menghafal hanya agar diwisuda hafidz Qur’an bersama teman-teman lainnya, yang dilaksanakan setiap akhir bulan sya’ban sebelum liburan akhir tahun. Dan hasilnya, pada akhir bulan sya’ban tahun 2009 saya berhasil  duduk bersama wisudawati hafidz qur’an kategori juz 30. Dan pada akhir sya’ban 2011 dapat mengikuti wisuda hafidz qur’an kategori 5 juz.
Menginjak tahun keenam di TMI Al-Amien Prenduan, saya disibukkan dengan kepengurusan ISTAMA (Ikatan Santriwati Tarbiyatul Mu’allimat) organisasi intra disana. Memangku jabatan sebagai Mahkamah Syar’iyyah (biasa disebut dengan Qismul Amni di beberapa pesantren semisal Gontor dll). Disibukkan dalam aktifitas kepengurusan yang lumayan padat, membuat hafalan tak menjadi prioritas. Hingga saat-saat terakhir di TMI Al-Amien disibukkan dengan kegiatan niha’ie (Praktik kemasyarakatan dan keilmuan di pesantren model Gontor dll), membuat saya seakan lupa bahwa hafalan itu perlu dimuraja’ah agar tidak hilang dari ingatan. Seingat saya, hafalan yang masih melekat hanya surah An-naba’ dari 6 juz yang sudah dihafal.
Namun, syukur alhamdulillah.. Allah tak pernah meninggalkan saya. Pada masa pengabdian wajib saya ditempatkan di PPSQ. Asy-Syadzili III Tumpang, Malang, Jawa Timur oleh Biro Alumni Al-Amien untuk program Takhassus Al-Qur’an. Walau hanya bertahan selama tiga bulan di Malang, namun saya berhasil menyetorkan 16 juz dengan pengulangan dari juz 30, 1 sampai juz 15. Di Pondok inilah saya benar-benar bertekad untuk menjadi seorang penghafal Qur’an, bukan menghafal hanya sekedar untuk mencari kenikmatan dunia. Namun ketika tekad itu benar-benar tertancap kuat dalam diri, saat itulah Allah menguji kesungguhan saya. Saya mulai tidak betah berada di Malang, bukan karena sistem menghafal atau beban hafalan. Tapi hal-hal di luar itu yang menyebabkan saya memutuskan untuk boyong dan kembali ke kampung halaman menuntaskan sisa pengabdian wajib dengan mengajar di lembaga orang tua.
Setelah menyelesaikan tugas pengabdian wajib dari TMI Al-Amien, saya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kuliah di sebuah kota besar membawa hafalan 16 juz merupakan hal yang benar-benar sulit pada masa-masa awal kuliah saya di Jakarta. Pergaulan dan lingkungan yang kurang kondusif, serta kegiatan dan tugas-tugas awal perkuliahan yang menumpuk, membuat saya mencari cara untuk memuraja’ah hafalan di lembaga-lembaga tahfidz sekitar kampus. Pilihan saya akhirnya jatuh pada Bimbingan Tahfidz di Fakultas yang ditangani oleh dosen-dosen Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Jakarta.
Awalnya, bergabung dengan kelompok bimbingan tahfidz di fakultas hanyalah untuk memuraja’ah hafalan agar tidak hilang. Namun, dosen pembimbing tahfidz saya menyarankan untuk melanjutkan hafalan hingga akhir. “Kalau Guru kamu di Pesantren dulu mampu membuat kamu hafal Qur’an 16 juz, saya juga mampu membuat kamu hafal Al-Qur’an seluruhnya” ujar beliau saat pertama kali saya menyetorkan hafalan. Beliau juga yakin, disela-sela kesibukan organisasi dan kuliah, saya mampu untuk mengkhatamkan hafalan sebelum wisuda sarjana. Berbekal motivasi dan keyakinan yang ditanamkan oleh dosen pembimbing tahfidz tersebut, akhirnya saya meneruskan hafalan dan bergabung dengan Lembaga Tahfidz dan Ta’lim Al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah pada tahun kedua perkuliahan di UIN Jakarta. Di Lembaga yang terletak di depan Kampus UIN Jakarta inilah saya mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an pada Jum’at, 15 Januari 2016 bertepatan dengan Tahun Ketiga Perkuliahan saya di UIN Jakarta.
Demikianlah sekelumit perjalanan panjang saya dalam menghafal Al-Qur’an. Dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu tujuh tahun. Saya telah berhasil memenuhi keinginan dosen pembimbing tahfidz saya untuk mengkhatamkan hafalan sebelum wisuda sarjana. Yah, dan saya merasa sangat bersyukur Allah selalu berikan kejutan indah dalam hidup saya.
Saat ini saya aktif di berbagai Lembaga Tahfidz dan organisasi baik internal maupun eksternal kampus, diantaranya LTTQ Masjid Fathullah, Ma’had Tahfidz Dzinnurain yang dibentuk oleh Asian Moslem Charity Foundation (AMCF), Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul ‘Ulama (IPPNU) Cabang Tangerang Selatan. Selain aktif di berbagai lembaga, saya juga mengajar Tahsin di LTQ Kharisma Risalah Cipulir, kebayoran lama (September-Desember 2015), menjadi musyrifah di berbagai kegiatan mukhayyam Qur’an kampus, dan mengajar privat tahsin-tahfidz hingga saat ini.
Dari kisah pengalaman menghafal ini, saya ingin menekankan bahwa menghafal itu mudah. Jika ada niat serta tekad yang kuat, sebesar apapun rintangan dan halangan yang datang, tak akan membuat goyah. Menghafal dengan metode apapun tidaklah penting. Hal yang paling penting adalah ada niat, motivasi, muhafidz/muhafidzah, dan lingkungan yang kondusif/mendukung. Kenapa saya meletakkan niat adalah hal pertama yang harus ada? Karena menghafal tanpa niat yang benar akan terhenti di tengah jalan.  Kemudian hal kedua yang harus ada adalah motivasi. Kenapa motivasi? Karena tidak selamanya proses menghafal menyenangkan, ada kalanya posisi kita berada pada titik jenuh dan sulit untuk menghafal. Disinilah peran motivasi menjadi sangat penting. Selanjutnya adalah adanya muhafidz/muhafidzah. Menghafal tanpa menyetorkan pada orang lain akan membuat hafalan buruk. Kenapa? Karena kita tidak mengetahui kesalahan dan kekurangan hafalan yang dihafalkan, serta tidak ada yang membenarkan jika terjadi salah dan lupa. Kemudian lingkungan yang kondusif menjadi sangat penting. Karena menghafal perlu suasana yang mendukung konsentrasi. Maka, saya menyarankan agar siapapun yang menghafal hendaklah bergabung dengan lembaga tahfidz, pesantren tahfidz atau menyetorkan pada muhafidz/muhafidzah, agar hafalan al-Qur’an yang dihafalkan sempurna.
Terakhir, hidup bukanlah tentang bagaimana menyesali hal-hal buruk yang pernah dilakukan. Tetapi hidup adalah tentang bagaimana mengambil pelajaran dari berbagai kesalahan di masa lampau, dan menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Sesungguhnya merugilah seseorang yang hari ini sama dengan hari kemarin.

                                                                        Ciputat, 27 Desember 2016




Kamis, 04 September 2014

Aliran- Aliran Teologi





MAKALAH ILMU KALAM
KELOMPOK 1




 















 Oleh:
 RABIATUL ADAWIYAH
KHOLIS BIDAYATI
 AZRIYANI



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
 Persoalan-persoalan  yang terjadi dalam lapangan politik setelah kematian Rasulullah SAW menimbulkan munculnya persoalan-persoalan teologi, timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu Khawarij, murji’ah dan mu’tazilah.
Dalam sejarah agama islam telah tercatat bahwa adanya firqah-firqah atau golongan-golongan itu dilingkungan umat islam antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara tajam dan sulit untuk diperdamaikan, apalagi dipersatukan. Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak bisa dirubah lagi, dan sudah menjadi ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab agama, terutama dalam kitab-kitab ushuluddin.
Umat islam, khususnya yang berpengetahuan agama tidak heran melihat dan membaca ini, karena Nabi Muhammad SAW sudah mengabarkan hal ini pada masa hidup beliau, beliau bersabda: ”Al ikhtilafu rahmatun”, yang artinya perbedaan pendapat dalam umatku adalah sebuah rahmat.
Untuk itu dalam makalah ini, penulis hendak membahas tentang salah satu firqah atau golongan diatas, yaitu golongan atau kaum khawarij.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana latar belakang timbulnya kaum Khawarij?
2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam kaum khawarij?
3.      Apa isi ajaran-ajaran kaum khawarij?
4.      Apa saja sekte-sekte atau golongan-golongan dalam kaum khawarij?

C.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui sejarah berdirinya kaum khawarij
2.      Mengetahui tokoh-tokoh dalam kaum khawarij
3.      Mengetahui isi ajaran kaum khawarij
4.      Mengetahui sekte-sekte atau golongan-golongan yang ada dalam kaum khawarij






D.     Manfaat penulisan
1.      Penulis dapat mengetahui latar belakang timbulnya kaum khawarij
2.      Penulis dapat mengetahui siapa saja tokoh-tokoh dalam kaum khawarij
3.      Penulis dapat mengetahui isi ajaran kaum khawarij
4.   Penulis dapat mengetahui sekte-sekte atau golongan-golongan yang ada pada kaum khawarij






















BAB II
PEMBAHASAN
A.     Latar belakang timbulnya
Kaum khawarij adalah pengikut Ali bin Abi thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali bin Abi thalib yang menyetujui Arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah persengketaaan khilafah  dengan Mu’awiyah bin Abi sufyan dalam perang shiffin pada 37 H/ 648 M.
Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar, nama itu diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan khalifah ‘Ali, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surat An-nisa’ yang didalamnya disebutkan :”keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya”. Sehingga mereka menyebut diri mereka sebagai orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
Setelah memisahkan diri dari khalifah ‘Ali bin Abi thalib, mereka yang berjumlah 12.000 orang berkumpul di “Harura” salah satu desa yang terletak di dekat kota kufah, Irak. Mereka memilih ‘Abdullah bin Abi wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka menggantikan khalifah ‘Ali bin Abi thalib.

B.     Tokoh-tokoh dalam kaum khawarij
1.      ‘Abdullah bin Abi wahb, yaitu imam pertama yang dipilih oleh kaum khawarij setelah keluar dari pengikut khalifah ‘Ali bin Abi thalib.
2.      ‘Abdul Al-rahman bin muljam, yaitu salah satu dari kaum khawarij yang ditugaskan untuk membunuh khalifah ‘Ali dan berhasil dalam tugasnya.
3.      Nafi’ bin Al-Azraq, yaitu pemimpin golongan Al-azariqah (salah satu subsekte dari kaum khawarij)
4.      Najdah bin ‘Amir Al-hanafi, yaitu pemimpin golongan Al-najdat (salah satu subsekte dari kaum khawarij)
5.      ‘Abdul karim bin ‘ajrad, yaitu pemimpin golongan Al-‘Ajaridah (salah satu subsekte dari kaum khawarij)
6.      Ziad ibn Al-Asfar, yaitu pemimpin golongan Al-Sufriah (salah satu subsekte dari kaum khawarij)
7.      ‘Abdullah ibn Ibad, yaitu pemimpin golongan Al-Ibadiah (salah satu subsekte dari kaum khawarij)
8.      Jabir Ibn Zaid Al-azdi, yaitu pemimpin golongan Al-Ibadiah sesudah Ibn Ibad.




C.     Ajaran kaum khawarij
Kaum khawarij memandang bahwa ‘Ali ibn Abi thalib, Mu’awiyah ibn Abi sufyan, Amr  ibn Al-‘Ash, Abu musa Al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena Al-Qur’an mengatakan:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَاُ لَئِكَ هُمُ الْكَا فِرُوْنَ (الْمَا ئِدة :(5)44)

Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. Karena keempat pemuka islam ini telah dipandang kafir dalam arti keluar dari islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani untuk membunuh khalifah ‘Ali saja yang berhasil dalam tugasnya.
Dalam lapangan ketatanegaraan kaum khawarij mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada pada zaman mereka, mereka lebih bersifat demokratis. Menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam, yang berhak menjadi khalifah bukan hanya orang Arab saja, akan tetapi siapa saja yang sanggup dari orang islam sekalipun hamba sahaya yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannya selama ia bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran-ajaran islam, ia wajib dijatuhkan atau dibunuh.
Dalam hubungan ini, khalifah atau pemerintahan Abu bakr dan Umar ibn khattab secara keseluruhan dapat mereka terima, bahwa kedua khalifah ini diangkat dan keduanya tidak menyeleweng dari ajaran- ajaran islam, mereka akui. Tetapi ‘Usman Ibn ‘Affan mereka anggap telah menyeleweng dari ajaran islam semenjak tahun ketujuh dari masa kekhilafahannya, dan ‘Ali Ibn Abi Thalib juga mereka pandang menyeleweng dari ajaran islam semenjak peristiwa arbitrase itu.
Disini kaum khawarij memasuki persoalan kufr, siapakah yang disebut kafir dan keluar dari islam? Siapakah yang disebut mukmin dan demikian tidak keluar dari islam? Persoalan-persoalan seperti ini bukan lagi persoalan politik akan tetapi persoalan teologi. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih islam dan siapa yang telah keluar dari islam serta menjadi kafir, juga tentang soal-soal yang bersangkut paut dengan hal ini tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan khawarij itu sendiri.
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab badawi yang hidup di padang pasir tandus sehingga membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, bersifat merdeka, tidak bergantung pada orang lain. perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat kebadawian mereka. Mereka tetap bersifat bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Mereka juga jauh dari ilmu pengetahuan, ajaran-ajaran islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, iman dan paham mereka merupakan iman dan paham sederhana dalam pemikiran sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal tapi sempit ditambah lagi dengan sifat fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap ajaran islam menurut paham mereka, walaupun penyimpangan itu dalam bentuk kecil saja.
Disilah letak persoalan dalam kaum khawarij itu, yang menyebabkan mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan dan terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa islam dan umat islam yang ada di zaman mereka.

D.     Golongan-golongan / subsekte-subsekte
1.      Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan khawarij asli yang terdiri dari pengikut –pengikut khalifah ‘Ali ibn Abi thalib yang dipimpin oleh  ‘Abdullah Ibn abi wahb Al-rasidi, golongan ini berpandangan bahwa ‘Ali ibn Abi thalib, Mu’awiyah ibn abi sufyan, ‘Amr ibn ‘Ash, Abu musa Al-Asy’ari dan senua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan kafir. Termasuk didalamnya juga setiap orang yang berbuat dosa besar seperti zinah adalah kafir dan telah keluar dari islam, begitu juga dengan dosa-dosa besar yang lain.

2.      Al-Azariqah
Al-Azariqah adalah golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-muhakkimah hancur, golongan yang berjumlah lebih dari 20 ribu orang ini berada di daerah perbatasan Irak dan Iran, nama Al-Azariqah diambil dari nama pemimpin mereka yaitu ”Nafi’ Ibn Al-azraq” yang diberi gelar Amirul mukminin.
Golongan ini lebih radikal dari golongan Al-Muhakkimah, mereka tidak lagi memakai istilah kafir tetapi istilah yang dipakai adalah musyrik, yang dimaksud musyrik disini adalah semua orang islam yang tak sepaham dengan mereka, bahkan orang islam yang sepaham dengan Al-azariqah tapi tidak mau berhijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik, dan yang dipandang mereka musyrik bukan hanya orang dewasa tapi juga anak-anak yang dipandang mereka musyrik.

3.      Al-Najdat
Golongan yang dipimpin ”Najdah Ibn ‘Amir al hanafi” dari yamamah ini pada awalnya adalah golongan yang awalnya ingin bergabung dengan golongan Al-azariqah, tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ Ibn Al-azraq, diantaranya Abu fudaik, Rasyid al-tawil dan Atiah al-hanafi tidak menyetujui paham bahwa orang azraqi yang tidak mau berhijrah kedalam lingkungan al-azariqah adalah musyrik, sebagaimana mereka juga tidak setuju dengan pendapat boleh dan halalnya anak dan istri orang islam yang tak sepaham dengan mereka untuk dibunuh.
Golongan ini berpandangan bahwa dosa kecil apabila dilakukan secara terus menerus akan menjadi dosa besar dan yang mengerjakannya akan menjadi musyrik, juga yang diwajibkan bagi setiap muslim hanyalah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang islam dan percaya pada apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Dalam lapangan politik mereka berpendapat bahwa adanya imam perlu, hanya jika maslahat yang menghendaki  demikian, artinya pada hakikatnya mereka tidak memerlukan adanya imam untuk memimpin mereka, sebagaimana ajaran komunisne yang mengatakan bahwa negara akan hilang dengan sendirinya.
Golongan ini pulalah yang pertama kali membawa paham “taqiah” yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.

4.      Al-‘Ajaridah
Golongan yang dipimpin “ ‘Abdul karim Ibn Ajrad” ini mempunyai paham puritanisme, surat Yusuf dalam Al-Qur’an membawa cerita cinta dan Al-Qur’an sebagai kitab suci menurut mereka tidak mungkin mengandung cerita cinta, oleh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an.
Golongan Al-‘ajaridah ini terbagi menjadi beberapa subsekte lagi, yaitu Al-Maimuniah yang menganut paham Qadariah, Al-Hamziah dan Al-Syu’aibiah yang menganut paham sebaliknya yaitu jabariah.

5.      Al-Sufriah
Golongan yang dipimpin “Ziad Ibn Al-Asfar” ini mempunyai paham sebagai berikut:
a.       Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.      Tetapi untuk keamanan dirinya, perempuan islam boleh menikah dengan laki-laki kafir didaerah bukan islam.

6.      Al-Ibadiah
Golongan ini adalah golongan yang paling moderat dari seluruh golongan khawarij, dipimpin “’Abdullah Ibn Ibad” yang memisahkan diri dari golongan Al-azariqah pada tahun 686 M. Paham moderatnya dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka yang banyak bertentangan dengan paham golongan-golongan lain dari kaum khawarij. Oleh karena itu, jika golongan khawarij lain telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan Al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika utara, Umman dan Arabia selatan.
Adapun golongan-golongan khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun mereka sebagai golongan telah hilang dalam sejarah, ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai pengaruh walaupun tidak banyak dalam masyarakat islam sekarang.



















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Kaum khawarij adalah golongan dari pengikut khalifah ‘Ali ibn Abi thalib yang keluar dari barisannya ketika terjadi peristiwa arbitrase.
b.      Isi ajaran-ajaran dalam kaum khawarij ini banyak yang bersifat ekstrim dan radikal, karena kaum khawarij pada umumnya adalah orang-orang Arab badawi yang keras hati dan berani, sehingga bersifat fanatic dan tidak mentolerir adanya penyimpangan dalam bentuk apapun.
c.       Tokoh-tokoh kaum khawarij adalah ‘Abdullah bin Abi wahb‘Abdul Al-rahman bin muljam,Nafi’ bin Al-Azraq, Najdah bin ‘Amir Al-hanafi,‘Abdul karim bin ‘ajrad,Ziad ibn Al-Asfar, ‘Abdullah ibn Ibad, Jabir Ibn Zaid Al-azdi.
d.      Dari seluruh subsekte-subsekte yang ada pada kaum khawarij, subsekte Al-Ibadhiahlah yang paling moderat, sehingga sebagian kecil dari subsekte ini masih ada hingga saat ini.





















DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1986.Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Rozak , Abdul dan Rosihon Anwar. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia